loading...

Saturday 7 July 2018

TGB Soal Jokowi 2 Periode

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Menulis soal politik memang sungguh menggoda. Padahal saya sudah siapkan dua tulisan tentang lingkungan, gegara ada statement TGB yang viral, tergoda lagi untuk nulis soal isu politik. Isu lingkungan ditunda dulu.

Bagi saya, TGB dan Gatot Nurmantyo adalah kunci elektoral Pilpres 2019 nanti. Sebab Jusuf Kalla sudah tidak bisa maju sebagai Cawapres, dan Mahfud MD rasa-rasanya juga tidak akan bersedia dicalonkan, mendampingi siapapun.

Konon, dari isu yang beredar, TGB sangat dilirik oleh Prabowo. Sebab betapa mantapnya, jika Prabowo yang berlatar militer, berpasangan dengan TGB yang berlatar sipil dan kepala daerah.

Hanya tidak mudah bagi Prabowo, jika harus melewati PAN dan PKS. Apalagi PAN punya catatan positif dalam pilkada 2018 ini.

Karena selintas ada nama lain diluar koalisi PAN dan PKS, konon karena itulah Pak Amien Rais sedikit geram, dan menyatakan siap Nyapres lagi. Ada deklarasi yang mendukung kembali Amien Rais maju sebagai calon Presiden.

Padahal mana mungkin? Sebab PAN sedang getol-getolnya memprofilkan Dzulkifli Hasan. Karena itu ada yang berpendapat jika majunya Pak Amien Rais hanya gertakan untuk Prabowo, yang mulai melirik orang diluar koalisi besar.

Tetapi entah itu benar atau tidak, namanya juga isu politik yang serba simpang siur.

Lalu bagaimana dengan statement TGB soal Jokowi dua periode?

Sebenarnya fair saja, kata TGB ketika diwawancara Alfito di CNN Indonesia. TGB sendiri berujar, untuk lingkup NTB yang 5,1 Juta penduduk, ia butuh dua periode. Maka dalam konteks yang sama, Pemerintah pusat juga demikian. Fair saja.

Tidak hanya TGB yang pernah berujar demikian, Gatot Nurmantyo juga, bahkan ketika masih mejabat panglima TNI. Melihat pembangunan infrastruktur saat ini, maka pentingnya kepemimpinan dua periode. Begitu kata Gatot dulu.

Apalagi, dua periode adalah batas maksimal memimpin di Indonesia. Tidak seperti Malaysia, yang mana Mahatir bisa terpilih lagi jadi perdana menteri, tidak ada batasan.

Jadi statement TGB, dan juga Gatot dahulu, bukan bentuk dukungan. Hanya bicara sebaiknya. Jangan baper, juga jangan senang terlebih dahulu.

Jokowi pun juga cukup kesulitan jika harus menggandeng TGB. Harus melewati partai-partai pendukung, terutama PDIP dan Golkar. Ada Airlangga Hartanto, yang jadi kandidat kuat cawapres.

Jangan pula mereduksi figur TGB hanya karena statement semacam itu. TGB, sosok yang komplit ; agamawan disatu sisi, alumnus Al Azhar Mesir, dan mau terjun ke politik, mengurus rakyat dan daerahnya.

Anda hitung berapa banyak Ulama yang mau terjun langsung seperti TGB. Lebih banyak yang menikmati berceramah dari mimbar ke mimbar, punya jamaah dan pengikut, juga dibayar mahal.

Yang mau terjun langsung, mengelola birokrasi, menyelesaikan persoalan publik yang lebih kompleks, begitu sedikit jumlahnya.

Sebab bagaimanapun, TGB adalah salah satu kunci elektoral. Kemana beliau akan bersikap, maka "angin politik" juga akan ikut terpengaruh.

Dan kita perlu memahami juga, ada satu kesamaan antara TGB dan Jokowi, soal kebijakan infrastruktur. Ibarat gayung bersambut. NTB yang dulu tak begitu dikenal, kini begitu populer. Terutama pariwisatanya, bahkan menyaingi Bali. Salah satu penyokongnya adalah infrastruktur.

Hotel terbaik di dunia juga ada di NTB. Mungkin yang lainnya akan menyusul. TGB adalah tokoh yang usianya kini masih cukup muda, dan Insyallah masih ada 10 atau 15 tahun berikutnya untuk Tuan Guru ini memimpin Indonesia. []

Blitar, 7 Juli 2018
Lingkar Studi Sejarah Politik Indonesia

Friday 29 June 2018

Orang-orang yang Golput

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Bagaimana agar negara maju? Jawaban Dahlan Iskan sungguh bagus : anda tidak perlu berpikir bagaimana agar negara maju, berpikirlah bagaimana hidup anda bisa maju, maka negara akan ikut maju.

Kalau tidak salah itu pertanyaan yang diajukan mahasiswa, entah dalam forum apa saya lupa. Yang saya ingat itu petuah Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN yang juga dikenal sebagai bos media.

Mahasiswa memang terkenal kritis, kuat bacaan dan mengantongi data. Tetapi kadang lupa mengurus dirinya sendiri.

Contohnya, mengkritik habis negara yang tidak mandiri secara ekonomi, banyak hutang dan investor asing. Tetapi dia sendiri masih bergantung pada uang bulanan dari orang tua.

Tidak apa-apa, sebab lagi idealis-idealisnya, maka harus kritis, perkuat konsep, baru masuk realitas.

Bagaimana agar negara maju? Atau setiap daerah maju? Maka jangan keliru milih pemimpin, jangan golput waktu pemilu. Pilih pemimpin yang sesuai dan bisa mengawal aspirasi masyarakat.

Tetapi bagaimana jika analoginya begini : jangan makan yang manis-manis, agar gula darah tidak naik. Tetapi yang tersaji di atas meja semua serba manis. Jadi lebih baik tidak makan.

Tetapi dalam pemilu, milih tidak milih tetap ada yang menang. Meskipun yang maju hanya satu pasangan, pesaingnya kertas kosong. Sementara yang berkompetisi, calon yang ada kurang meyakinkan, itu-itu saja, kurang greget.

Makan tidak makan, kena diabet juga. Hehe

Tetapi kalau mengingat perjuangan penyelenggara pemilu, mulai dari KPU, PPK, PPS, KPPS dan organ lain yang berhubungan, juga mempertimbangkan anggaran negara yang digelontorkan untuk hajatan demokrasi ini, rasanya kok sayang jika tidak menggunakan hak suara.

Memang semua perlu berbenah, khususnya diri sendiri. Sebab yang maju dalam pemilu saat ini, adalah cermin dari masyarakat.

Masyarakat yang pasif, permisif, kurang mempunyai tuntutan, atau hanya suka nyinyir. Apalagi yang bisa disumpal, atau disogok dengan uang 50.000 perak, untuk satu suara. Mudah ditundukkan.

Bayangkan jika publik kita sangat kritis. Minimal diri kita sendiri, yang perlu mengkaji latar belakang, rekam jejak, program yang ditawarkan, juga "beban politik" yang sangat mungkin menghambatnya ketika berkuasa nanti.

Jadi sehebat apapun pemimpin, kalau kiri kanannya banyak pembisik, banyak beban, maka tidak bisa lari kencang. Mobil ferari akan kalah dengan Avanza, kalau sambil jalan sambil nderek truk tronton. Malah tak beringsut.

Yang akan maju pun akan berfikir ulang, sebab rakyatnya sudah "sulit ditaklukkan". Jika pada akhirnya maju tanpa konsep yang matang, tanpa penguasaan, tanpa punya political will yang baik. Habislah sudah.

Apakah selama ini yang kurang? Sepertinya penyelenggara pemilu sudah kerja sangat ekstra. Tinggal partai politik, calon yang bertanding, tim sukses, atau yang berkaitan, yang perlu meninggalkan "kebiasaan lama".

Juga kita masyarakat, yang apatis, yang berfikir lebih baik golput, yang kadang kehilangan harapan, yang masih mau ditawar murah.

Namun bagaimanapun, memilih adalah hak. Tidak memilih juga adalah hak. Tetapi memilih atau tidak memilih tetap ada yang menang. Memilih atau tidak memilih, jika banyak kebijakan keliru diambil pemimpin kelak, kita juga yang merasakannya.

Seperti misalnya, ya itulah ...

Blitar, 27 Juni 2018
Lingkar Studi Sejarah Politik Indonesia (Lakspi)

Prabowo dan Ongkos Politik

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Apa makna dibalik "sumbangan dana" yang akhir-akhir ini dilemparkan Capres Gerindra, Prabowo Subianto? Tentu bermacam-macam.

Bisa dalam arti sebenarnya, bahwa Prabowo memang sudah habis-habisan untuk nyapres, sejak 2004, dimulai dari konvensi capres Golkar. Lalu rela menjadi cawapres mendampingi Megawati, dan pada puncak elektabilitasnya, ia berhasil maju sebagai capres pada 2014.

Kita tahu, ongkos politik tidak murah. Meskipun Prabowo orang kaya, saat diaudit KPK pada 2014 lalu, kekayaannya diatas 1 Triliun atau 1.000 Milliar.

Besar sekali. Kekayaan Jokowi bahkan tak ada 5%-nya. Bahkan Prabowo lebih kaya dari Megawati dan Jusuf Kalla, apalagi SBY. Entah kita mau percaya atau tidak, kekayaan SBY dalam LHKPN hanya dibawah 10 Milliar.

Akan tetapi statemen Prabowo tersebut juga bisa bermakna lain, sebagai "tes pasar", sebagai upaya untuk memastikan barisan pendukungnya yang loyal. Juga untuk membuktikan hasil survei, yang selalu menempatkannya diurutan kedua, sejak/dalam lima tahun terakhir.

Juga bisa jadi angin positif, yang menyadarkan kita betapa mahalnya ongkos politik, biaya kampanye, yang berdampak pada "dipermainkannya" anggaran negara, untuk proyek atau hal-hal lain, sampai pada perilaku korupsi.

Juga menyadarkan kita betapa ada "aktor kapital" yang selalu bermain, menawarkan jasa-nya, tentu tidak dengan cuma-cuma.

Sebab uang tidak ber-tuhan, juga tidak ber-ideologi. Jasanya bisa diberikan kepada semua pasangan sekaligus, ibarat main judi. Agar tidak rugi, maka megang keduanya saja. Pasti salah satunya yang menang.

Sebab mahalnya ongkos politik, juga tak seberapa dengan potensi anggaran negara yang bisa "dimainkan". Katakanlah bertaruh 1 Triliun, dibagi dua. Nanti diupayakan mengelola proyek yang jumlahnya 10 kali lipat.

Capres tentu tidak bisa mengontrol satu per satu darimana anggaran berasal. Tahu-tahu fotonya ada di baliho, kaos-kaos, media massa, atau amplop-amplop.

Setelah punya kuasa, lalu ada bisikan-bisikan, bahwa perusahaan A milik si B dulu pernah bantu kampanye sekian miliar. Bisikan-bisikan liar yang menyandra suasana psikologi siapapun pemimpinnya.

Itulah kenapa masyarakat perlu peka, jangan apolitik. Tokoh-tokoh kompeten harus kita dukung, minimal kita perbincangkan, kita apresiasi. Kita kaji latar belakang, kebijakan, serta sikap-sikapnya.

Perihal nanti apakah wataknya berubah ketika memperoleh kekuasaan, itu soal lain, itu urusan pribadinya dengan Tuhan.

***
Atau Prabowo ingin namanya tetap beredar di permukaan, makanya harus terus melempar isu. Harus terus ada panggung, biar tak tenggelam.

Kita tidak tahu, dan biarlah itu berlalu sebagai realitas perpolitikan kita.

Hanya, kegelisahan kita soal ongkos politik memang belum usai. Banyak tokoh kompeten, yang kita harap jadi pemimpin, yang kita percaya untuk mengelola bumi pertiwi, tidak bisa maju karena salah satunya terkendala biaya, meskipun faktor lain juga tidak kalah penting : political will partai politik.

KPU selama ini sudah bekerja sangat maksimal. Sekarang bahkan aturan lebih diperketat, untuk pemasangan alat peraga. KPU sendiri juga akan menyiapkan alat peraga bagi calon yang bertanding. Sosialisasi juga sudah disiapkan, baik di media cetak dan elektronik, atau sosialisasi ke masyarakat.

Artinya, tak perlu lagi risau soal ongkos politik. Sudah diongkosi negara. Tetapi tetap tidak cukup, tetap ada ongkos-ongkos lain yang dikeluarkan. Entah untuk apa. Sampai tokoh sekaliber Prabowo Subianto, mantan menantu keluarga cendana itu, mengeluhkannya. []

Blitar, 25 Juni 2018

Hari Tenang dengan Hati yang Gelisah

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Pilkada serentak 2018 sudah masuk hari tenang. Tidak boleh ada kampanye. Harus tenang, netral, santai. Tetapi pasti banyak yang merasa gelisah, gara-gara lembaga survei. Ada juga yang bahagia dan berbunga-bunga.

Dua lembaga survei merilis temuannya, untuk Pilkada serentak. Khususnya Jabar, Jateng, dan Jatim. SMRC merilis temuan untuk tiga daerah sekaligus. Sementara Poltracking, lembaga survei yang dipimpin Hanta Yuda tersebut, hanya merilis dua daerah. Jateng tidak disurvei, mungkin karena bisa diprediksi dengan mudahnya.

Beda halnya dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Bersaing ketat. Bahkan besar kemungkinan akan ada putaran kedua Pilgub Jabar.

Apakah hasil survei selalu tepat? Tidak juga. Hasil survei menunjukkan hasil ketika survei itu dilakukan. Dalam sisa-sisa hari jelang pemungutan suara, masih mungkin ada perubahan Masih mungkin ada kejutan. Bahkan di hari tenang.

Lembaga survei pun hanya membantu, tetapi toh banyak juga partai politik yang tidak melihat hasil survei, yang berbasis data ilmiah tersebut. Dengan misalkan, mengajukan calon yang elektabilitasnya rendah.

Calon dengan elektabilitas rendah, besar kemungkinan akan kalah. Sebab akhir-akhir ini, hasil perolehan suara partai ternyata tidak selalu sesuai dengan hasil pilkada yang didukung partai tersebut.

Lembaga survei membantu memberikan analisa, dengan data-data ilmiah. Makanya bermunculan lembaga survei, namun hanya beberapa yang bertahan, karena lebih teruji.

Calon-calon dan pengusungnya, tentu harap-harap cemas, ketika hasil survei dengan kompetitor terpaut 10%. Apalagi ketika survei dirilis 3 hari jelang pemungutan suara. Sudah kehabisan waktu, sebab masuk hari tenang.

Hasil survei juga menunjukkan, betapa elektabilitas tidak bisa dibangun dalam waktu singkat. Perlu ada rekam jejak, popularitas, dan penerimaan publik.

Publik harus kenal dulu, setelah kenal pun masih dicari kiprah dan rekam jejaknya, atau minimal gagasan-gagasannya. Tidak ujug-ujug punya elektabilitas tinggi. Kecuali jika itu lembaga survei milik sendiri, yang didanai sendiri.

Itulah uniknya pemilu di Indonesia. Tidak seperti di Malaysia, yang hanya sekali pungutan. Partai atau koalisi partai pemenang diberi wewenang untuk menentukan pemimpin eksekutif/menteri besar, atau bahkan perdana menteri.

Partai di Indonesia, yang sekalipun memiliki kursi mayoritas di legislatif tidak bisa serta merta memimpin eksekutif. Harus ada pemilihan lagi, khusus pemimpin eksekutif. Sehingga tidak bisa jumawa.

Hasil Pilgub di Jabar, Jateng, dan Jatim akan jadi berometer penting untuk Pemilu 2019, khususnya Pilpres.

Temuan survei pasti menggelisahkan sebagian pihak, juga membahagiakan pihak lain. Menariknya, justru yang paling gelisah adalah partai yang punya figur kuat sebagai capres 2019 nanti. []

Blitar, 24 Juni 2018

Haul Bung Karno, dan Ulang Tahun Jokowi

Oleh : Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Pidato pembukaan Dr. Suyatno, kepala Perpustakaan Bung Karno tadi pagi sangat menarik : Peziarah makam Bung Karno jangan hanya dapat abu-nya Bung Karno, namun juga api-nya. Maka harus tahu pemikiran dan konsep-konsepnya.

Jelas ini tidak mudah. Dari sekian ratus ribu peziarah setiap tahunnya, berapa kira-kira yang punya waktu untuk berkunjung ke Perpustakaan atau sekadar mengkaji foto-foto yang terpampang di museum?

Dua simbol ini : perpustakaan dan museum, barangkali adalah "wujud Bung Karno" sesungguhnya. Bung Karno yang gandrung membaca, berwawasan, dan melek sejarah. Maka ada pesan Jas Merah ; jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Dialog kebangsaan hari ini (21/06/18) mungkin salah satu cara untuk mengobarkan api bung karno. Ada sejarah yang dikaji, ada reflektifitas dari pikiran-pikiran besar bung karno. Ada sekitar 500 undangan disebar, dari unsur pelajar, pegiat budaya dan literasi, birokrat, dan lain sebagainya.

Dengan waktu yang singkat, enam narasumber berbicara banyak hal mulai dari sejarah, budaya, politik, ekonomi, agama, dan perspektif birokrasi.

Rata-rata memang menyampaikan secara teoritik-faktual, meski ada juga yang terlampau akademik seperti Dr. Alexander Ludi Avanto, tetapi menarik, dan menurut saya justru paling menarik. Juga Prof. Pawito, Ph.D yang sangat reflektif.

Pagi hari sebelum datang ke acara, sembari melihat-lihat sosial media, saya baru tahu kalau hari ini adalah ulang tahun Jokowi. Pada tanggal yang sama, Bung Karno meninggal dan Jokowi lahir. Meski tahunnya berbeda.

Jokowi berusia sekitar 10 tahun ketika Bung Karno wafat. Masih hidup sebagai anak tukang kayu yang miskin, yang masih mengontrak rumah, dan sering digusur.

Tak menyangka jika dikemudian hari, Jokowi lah yang berhasrat untuk meneruskan ide-ide besar Bung Karno. Trisakti misalnya, Nawacita, poros maritim, dan revolusi mental.

Tetapi antara Bung Karno dan Jokowi terasa kontras berbeda. Soal ciri khas berpakaian misal, Bung Karno yang parlente dan Jokowi yang sederhana. Gaya pidato apalagi. Bung Karno yang meledak-ledak, penuh metafor. Dan Jokowi yang datar-datar saja.

Tetapi Jokowi punya kesempatan lebih lapang, dengan suasana politik yang lebih tenang untuk melaksanakan ide-ide Bung Karno, ketimbang Bung Karno sendiri.

Buya Syafii Maarif pernah mengatakan, bahwa ide Soekarno sangatlah brilian dan visioner, hanya Soekarno sendiri kehabisan waktu untuk melaksanakannya. Dirundung suasana politik yang kacau.

Tetapi apakah mudah? Jelas tak semudah itu. Sebab kapitalisme sudah kadung mencengkram, mencekik dari berbagai arah, tanpa kita sadari, dan kita hanya bisa mengumpat sambil menikmati.

Misalkan, mengumpat kapitalisme di sosial media, memanfaatkan ponsel pintar. Padahal sosial media juga ditopang oleh perusahaan besar, pelaku kapitalisme itu sendiri. lewat iklan-iklan yang berseliweran.

Trisakti yang kita dengungkan dan perjuangkan, harus melawan itu semua. Ongkos politik mahal, sehingga butuh pemodal. Ekonomi rakyat, juga beradu dengan korporasi. Pasar-pasar tradisional bersaing dengan pasar modern yang serba ada, dalam satu tempat.

Budaya? Juga sedang mengalami pergulatan sengit, sebab teknologi informasi yang kini tak terbendung, yang membuat tidak ada lagi sekat wilayah. Kita bisa dengan mudah menonton sinetron telenovela dari negara latin, tanpa sensor, melalui internet.

Semua penuh tantangan. Akan tetapi apakah tak ada harapan?

Kira-kira pikiran Bung Karno memang masih relevan. Terkait pancasila, yang bila diperas lagi menjadi ekasila, trisila, dan jika diperas lagi maka jadilah gotong royong.

Hanya gotong royong yang seperti apa? Gotong royong yang secara riil kita sering dapati antara lain seperti kerja bakti, yang secara praksis diajarkan di sekolah.

Bagaimana gotong royong untuk kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam budaya? Perlu ada rumusan yang riil, yang mudah dicerna.

Prof. Pawito memberikan gambaran sangat menarik, seperti misalkan minum kopi. Kopi yang tumbuh dan ditanam oleh petani kita sendiri. Juga, mengurangi konsumsi roti, yang terbuat dari gandum.

"Di Indonesia tidak tumbuh gandum, jadi harus impor, tetapi hampir setiap waktu orang mengkonsumsi gandum. Hampir setiap acara ada suguhan roti," ujar guru besar FISIP Universitas Negeri Surakarta tersebut.

Tragis. Ketergantungan pada bahan impor. Prof. Rhenald Kasali sempat menulis dalam sebuah artikel, kenapa buah tropis seperti pisang, salak, dlsb kalah dibandingkan buah impor. Apel, melon, anggur yang berlabel "bahasa mandarin" lebih mendominasi minimarket.

Jika ditulis lagi apa-apa saja ketergantungan kita pada produk luar negeri, pasti akan makin tragis dan mengenaskan, belum lagi produk transportasi dan telekomunikasi.

Orang bisa dengan mudah menghujat Tiongkok, melalui ponsel Huawei, Xiomi, Oppo, atau produk ZTE yang produksinya disana.

Tetapi bagaimanapun, yang dipakai tetaplah konsep revolusi. Perubahan secara cepat dan mendasar. Ibarat orang yang sudah terpojok, terikat tangan dan kaki, dengan leher tercekik, tapi masih berharap bisa lepas, dengan cepat.

Maka jangan begitu menyalahkan pemerintah yang kini ngebut bangun macam-macam. Salah satu implementasi dari revolusi. Harus cepat, sebab persaingan begitu ketat. Terlepas kita sepakat atau tidak.

Kita yang selama ini "hidup enak" dengan subsidi dan semacamnya, jadi kaget karena dicabuti satu-satu, terasa apa-apa mahal. Masyarakat menjerit.

Mental memang harus berubah. Bukan lagi berharap pemerintah me-murahkan segala kebutuhan, tetapi dengan pembangunan yang ada, harus kita manfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Bisnis perlu dikuatkan, sebab jalur distribusi sudah lebih mudah.

Masalahnya, kini pesaingnya bukan hanya orang dalam negeri. Tetapi dari luar negeri, yang akan masuk dengan konsep yang mungkin lebih matang. Maka perlu revolusi mental.

Kita yang belum siap, hanya menggerutu, mengumpat, pasrah. Berharap pemerintahan ganti, agar tidak begini keadaannya. Padahal siapa menjamin? Kita sudah kadung tercekik, dan akan terus tercekik.

Perlu gotong royong agar pemerintah ganti, eh maksudnya gotong royong untuk menjalankan trisakti. Dengan cara :

Berpartisipasi aktif dalam politik, terutama dalam mengendors tokoh-tokoh kompeten. Agar masyarakat makin kenal, agar biaya kampanye berkurang, agar orang berduit atau pemodal atau aktor kapital tidak "menawarkan bantuan" yang pasti minta imbal balik nantinya.

Perlu gotong royong, dan merubah mindset untuk berbelanja ke pasar tradisional. Yang disana banyak pedagang, yang artinya tidak dikuasahi satu orang saja.

Perlu menggali lagi budaya kita, filosofi bangsa, nilai-nilai hidup. Agar tak tercerabut dari akar kebudayaan kita, agar jadi cermin kepribadian.

Dalam perspektif birokrasi, kebijakan program dan anggaran, kita juga berharap yang sama, pada tanggal dimana sang penggali wafat, namun sang penerus merayakan hari lahirnya.

Kepergian meninggalkan luka dan kesedihan, sementara kelahiran mencipta kebahagiaan dan harapan. Meski jangan juga terlalu berharap. []

Blitar, 21 Juni 2018

Sunday 24 June 2018

Pilgub Jatim yang Kurang Menggairahkan

By Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Nuansa Pilgub Jatim 2018 ini terasa beda dengan di Jabar dan Jateng. Terasa tenang, adem ayem, dan nyaris tanpa gejolak dan dinamika. Kurang menggairahkan.

Beda dengan di Jawa Tengah, apalagi Jawa Barat. Di Jawa Barat ada semacam "panggung khusus" antara Ridwan Kamil dan Dedi Mizwar. Seringkali, keduanya terlibat head to head. Seolah, Pilgub Jabar adalah panggung yang diperuntukkan keduanya.

Dedy Mizwar sering menyebut Ridwan Kamil kurang ilmu, kurang data, dan juga menyerang kebijakan-kebijakan Ridwan Kamil selama menjadi Walikota Bandung.

Namun Ridwan Kamil tak mau kalah, ada saja caranya, yang kadang membuat Dedy Mizwar kerepotan. Dalam survey, keduanya pun bersaing ketat. Besar kemungkinan terjadi putaran kedua, antara keduanya.

Sementara calon lain, seolah pemeran tambahan. Bahkan pasangan yang didukung Gerindra-PKS, yang menjadikan 2019 ganti Presiden sebagai kampanye, juga tidak begitu mendongkrak elektabilitas. Kurang laku. Begitupun dengan calon yang diusung PDIP.

Pilgub Jabar begitu dinamis. Figuritas lebih kuat, ketimbang kepartaian. Tidak begitu halnya di Jateng dan Jatim.

Di Jateng, kubu Pemerintah bertanding melawan kubu Oposisi. Terasa tensinya. Sudirman Said yang sukses jadi tim transisi Anies-Sandi, maju dalam perhelatan. Berharap nasib baik juga ia dapatkan. Meski Jateng terkenal dengan sebutan "kandang banteng".

Di Jatim, yang adem ayem ini, format koalisi kurang greget. Gerindra dan PKS, yang jadi lawan sengit PDIP, nampak tak punya taring. Sehingga lebih memilih merapat ke calon yang diusung PKB dan PDIP.

Meski tetap ada yang mengkubu-kan. Mungkin agar jadi seru dan menarik, namun tetap saja adem ayem. Katanya, Pilgub Jatim adalah perang antara kubu SBY dan Mega. Demokrat sangat kuat di Jatim, terutama dalam 10 tahun terakhir. Meski DPRD-nya didominasi PKB dan PDIP.

Atau karena antara Bu Khofifah dan Gus Ipul sama-sama sungkan untuk saling menyerang. Yang satu Nyai, yang satu Gus. Sama-sama tokoh teras depan NU. Sama-sama punya kedekatan dengan Gus Dur.

Debat sengit justru terjadi antara sang calon wakil, Emil Dardak dan Puti Guntur. Sayangnya tetap kurang greget. Sebagai pendatang baru, Puti tak banyak menyita perhatian publik. Sementara Emil Dardak nampak bergelora. Selain muda, tampan, dan beristri Artis Ibukota.

Tetapi hasil survey juga adem ayem. Keterpautan keduanya kurang dari 1%. Padahal margin eror bisa sampai 3%, suara mengambang juga bisa sampai 11%.

Survey teranyar dari SMRC, Khofifah-Emil unggul sekitar 8%. Tetapi suara mengambang masih sekitar 10%. Masih unpredictable.

Sangat sulit memperkirakan siapa yang akan menang dalam Pilgub Jatim 2018 ini. Suara NU pasti terbelah jadi dua. Suara nasionalis dan abangan juga pasti terbelah. Sebab ada Sukarwo di kubu Khofifah-Emil, yang notabene tokoh GMNI.

Gus Ipul masih mungkin mendapat suara dari KAHMI atau HMI, akan tetapi PAN mendukung Khofifah, suara warga Muhammadiyah juga pasti terbelah.

Anak-anak muda milenial? Kemungkinan besar ke Emil Dardak, meski ada kemungkinan ke Puti Guntur. Lalu kelompok mana yang akan menjadi penentu kemenangan?

Sulit ditebak. Kita hanya bisa menanti, sambil melihat keseruan apa yang terjadi. []

Blitar, 20 Juni 2018

NU dan Suasana Batin Umat Islam

Oleh Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Rezim Jokowi kerap diisukan suka mengkriminalisasi Ulama, terutama untuk kasus Alfian Tanjung dan Habib Rizieq Shihab. Katakanlah, Ulama puritan.

Juga, diisukan dekat dengan komunis. Dengan Tiongkok, dengan banyaknya pekerja asing asal Tiongkok yang datang ke Indonesia.

Kita semua tahu bahwa dua hal itu adalah "isu sempurna" untuk bahan propaganda. Islam dan komunisme jadi isu sensitif sepanjang sejarah berdirinya Republik ini.

Namanya isu, tentu tidak selalu benar. Tidak baik juga menegasikan kedekatan Jokowi dengan Ulama-ulama Pondok Pesantren, yang sering ia kunjungi. Ulama pondok pesantren biasanya jarang muncul di televisi, sebab sibuk mengurus santri. Sibuk mengurus Masjid dan Lembaganya.

Juga, soal pekerja asal Tiongkok. Sejak zaman Belanda, tidak saja pekerja, bos-bos dagang kebanyakan dari Tiongkok. Kita lihat di kawasan strategis kota-kota, ada daerah pecinan. Ada banyak toko-toko milik orang China.

Bahkan kalau merunut sejarah, bangsa China dan Mongol sudah ada sejak zaman Majapahit. Terlibat perang, salah satunya bangsa Tatar yang berhasil dipukul mundur Adipati Nila Suwarna I, atau Aryo Blitar.

Tetapi apalah gunanya sejarah, jika tak pernah dipelajari. Ketika itu dijadikan isu politik, orang jadi kagetan, marah, dan menuduh macam-macam. Ada suasana batin merasa terdolimi, namun melakukan kedoliman baru.

Bahkan ketika misalkan, menuduh NU sebagai ormas Islam yang "paling kenyang" di era Jokowi-JK. Banyak menteri dari NU, banyak juga Kyai-kyai NU yang berada di sekitar Jokowi, sebagai penasehat/pertimbangan.

Belakangan NU pun diserang habis-habisan ketika KH. Yahya Cholil Staquf datang ke America Jews Conference (AJC), juga ketika menghadiri undangan PM Israel. Berfoto bersama dengan background bendera Israel, dan viral, dan orang berfikiran macam-macam.

Suasana batin warga NU pun terkoyak. Mungkin sama terkoyaknya dengan kelompok Islam yang segaris dengan Habib Rizieq dulu.

Muhammadiyah pun juga begitu, merasa "terbidik" untuk isu terorisme. Sebab ada sebagian teroris yang sekolah di Muhammadiyah, bahkan warga Muhammadiyah.

Kita tahu bahwa tidak semua yang sekolah di Muhammadiyah itu, juga sekaligus kader Muhammadiyah. Seperti pelajar yang sekolah di lembaga katolik, tidak semua beragama Kristen katolik.

Tentu sudah jutaan orang yang bersekolah di lembaga milik Muhammadiyah, dan yang kebetulan terlibat aksi teror hanya segelintir saja.

Namun nyatanya, semua lapisan masyarakat muslim, dari ormas super besar seperti NU dan Muhammadiyah, atau yang pengikutnya terbatas namun sangat vokal di media, pernah atau sedang merasakan suasana batin tertentu : merasa dipojokkan, dan dihabisi.

Mirip dengan suasana batin warga Amerika Serikat, yang merasa terancam oleh minoritas muslim dan imigran, sehingga sosok Donald Trump bisa merebut hati mereka, dengan membawa dua isu tersebut.

Memang sangat aneh, ketika kelompok mayoritas merasa terancam. Padahal di negara yang menganut sistem demokrasi, justru kelompok mayoritas lah yang selalu menang, dan sebagai pengendali kebijakan politik.

Atau memang ini hanya suasana batin semata? Artinya ada serangan psikologis yang dilancarkan. Agar yang mayoritas terkotak-kotak, sehingga tak bisa bersatu, sehingga tidak terjadi dominasi mayoritas.

Lalu siapa yang berkepentingan? Entahlah. Sedangkan sebagian dari kita, harus merasa perlu untuk terlibat dalam sengketa. []

Blitar, 19 Juni 2018

Sunday 17 June 2018

Jokowi dan Calon-calon Lainnya

By Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Alhamdulilah bisa ikut merayakan lebaran 2018, atau 1439 H. Tanpa berita kemacetan yang berarti, meski tetap saja ada. Macet akan sulit dihindari, di tengah banyaknya pengguna kendaraan pribadi.

Juga tanpa berita kenaikan harga pangan yang ekstrem. Meski pada lebaran begini, konsumsi masyarakat naik. Pesta makan, juga rumah-rumah yang menyuguhkan kue-kue, yang bahan bakunya bermacam-macam, tepung dan gula terutama.

Akan tetapi nilai tukar rupiah terhadap dollar masih sulit beringsut dari angka yang mengkhawatirkan. Rasanya sulit untuk bergeser, apalagi ketika Donald Trump sedang menerapkan kebijakan konservatifnya, mirip ideologi partainya, yang dikenal dengan America first

Uang yang ada, termasuk investasi didahulukan untuk kepentingan Amerika. Nampak pada kampanyenya dahulu, yang seolah anti imigran, juga anti muslim. Akan dibangun tembok di perbatasan, terutama dengan Mexico.

Belakangan cara kampanye Trump diikuti oleh kelompok tertentu di Indonesia, yang terus mendengungkan bahayanya pekerja asing, hutang negara, juga pribumi harus berdaulat.

Semua itu memang penting, dan harus diupayakan. Tetapi beda lagi jika dipolitisir demi dapat suara rakyat. Amerika adalah negara dengan hutang terbesar, namun lembaga penghutangnya, bisa mereka kendalikan. Itulah uniknya.

***
Sampai pertengahan Juni, dari berbagai lembaga survey kredibel, elektabilitas Jokowi masih diatas 50%. Menyusul Prabowo, dan calon-calon lain dibawah 10%. Sebenarnya ada banyak kandidat.

Perlu kerja lebih keras, bahkan kalau perlu dengan cara yang tak biasa, untuk menurunkan elektabilitas Jokowi. Perlu menggali lagi hal-hal yang sekiranya bisa menjatuhkan, entah apa, biarlah oposisi "bekerja".

Namun pemerintah, juga tidak tinggal diam. Melalui berbagai instrument kebijakan dan kuasanya, seperti bagi-bagi sertifikat tanah. Diam, tapi menghanyutkan.

Padahal waktu terus bergulir, bulan depan sampai maksimal Agustus, kandidat pilpres 2019 mungkin sudah harus diumumkan. Hanya Jokowi yang secara kalkulasi bisa maju. Mayoritas partai berkumpul mendukungnya.

Prabowo sepertinya masih bimbang. Apakah berduet dengan PAN lagi, atau PKS. Keduanya adalah pilihan sulit. Dari suara parlemen, PAN unggul. Tetapi dari kesetian, PKS paling bisa diharapkan.

PKS pun terus "bekerja" dengan tagar 2019 ganti presiden. Banyak yang ikut gerakan ini, tetapi mungkin tak banyak tahu kalau penggagasnya adalah kader PKS, Mardani Ali Sera. Mardani adalah satu dari sembilan capres/cawapres yang ditawarkan PKS.

Prabowo sepertinya sedang menunggu dan melihat, mana sosok-sosok yang bekerja paling keras, untuk kemudian dipilih sebagai cawapres. Jika melihat sejauh ini, Mardani adalah sosok yang paling sukses menggempur presiden. Sayangnya, Mardani tidak begitu menjual untuk dijadikan cawapres.

Trauma dengan pilpres 2014 silam, yang mana Prabowo bisa menang diatas kertas, apalagi mayoritas parpol mendukungnya. Hanya saja pasangannya, Hatta Rasjasa, elektabilitasnya sangat rendah. Andai kala itu yang jadi pasangannya adalah Mahfud MD, mungkin beda lagi.

Prabowo sudah bertarung sejak 2004. Sudah habis-habisan. Dana sudah banyak yang terkuras. Maka wajar jika penuh pertimbangan. Ia tentu tidak mau mengukir sejarah sebagai capres yang selalu gagal.

Karenanya sempat muncul nama-nama non parpol, seperti Gatot Nurmantyo dan TGB yang lagi moncer-moncernya. Mendengar itu, parpol koalisi, terutama PKS dan mungkin juga PAN, agak gusar.

Pak Amien Rais tiba-tiba menyatakan diri siap Nyapres lagi. Seperti petir di siang bolong, padahal PAN sedang gencar-gencarnya memprofilkan Dzulkifli Hasan.

Belum lagi ketika Habib Rizieq Shihab (HRS) juga menyatakan siap nyapres. Makin banyak alternatif, makin menunjukkan tidak solidnya koalisi Umat atau apalah namanya.

Nampak bahwa kekuasaan, secara alamiah sangat menggiurkan untuk diperebutkan.

Karenanya Jokowi nampak santai, sekalipun ia diserang dari berbagai arah. Serangan bertubi-tubi. Serangan untuk kebijakan-kebijakan yang diambil, sampai serangan personal.

Jokowi masih di atas angin, lawan politiknya sedang dirundung kebimbangan yang akut.

Tetapi sebentar dulu, beberapa tokoh kembali mengajukan judificial review UU Pemilu, yang mana syarat nyapres adalah 0%. Jika MK meloloskan, maka semua partai bisa mengajukan capres dan cawapresnya sendiri, akan terbuka peluang bagi banyak tokoh.

Ini juga bisa berdampak pada parpol yang mendukung Jokowi, yang mungkin juga akan sedikit goyah. Tergoda untuk mengusung sendiri, meski dengan peluang menang yang kecil.

Betapapun hebatnya tokoh, butuh beberapa bulan, atau beberapa tahun, untuk menaikkan elektabilitas. Inilah kenapa petahana selalu kuat, apalagi Jokowi yang selalu show up di media : blusukan, aktif di sosmed, terbuka pada wartawan, dan tentunya, memiliki banyak penghujat. []

Blitar, 17 Juni 2018

Saturday 16 June 2018

Selepas Walikota Tertangkap KPK

Oleh Ahmad Fahrizal Aziz
(Ketua Paguyuban Srengenge)

Akhir 2009, dalam sebuah percakapan, seseorang menceritakan pengalamannya berkunjung ke Blitar. Dia asal Pekalongan, dan tergerak untuk datang ke Blitar karena ada "Bung Karno" disana.

Katanya, Kota Blitar begitu sepi. Ia mampir ke alun-alun, sama sekali tak ada yang istimewa. Hanya serupa lapangan biasa, dan deretan penjual yang mengitarinya.

Kota-kota lain mungkin menawarkan lebih, apalagi kami yang kala itu sama-sama sedang kuliah di Malang. Blitar kalah segalanya : tata kota, pusat belanja, tempat nongkrong, hiburan, kampus, dan lain-lain.

Blitar hanya menang satu hal saja ; disini ada makam Bung Karno. Tokoh revolusi. Hanya lokasinya ratusan kilometer dari Ibukota Jakarta. Teman sekamar saya di asrama, yang asal Medan, baru tahu kalau Bung Karno dimakamkam di Blitar.

***
Awal 2010, dalam sebuah pidato perpisahannya sebagai Walikota, Djarot mendapat pertanyaan : Blitar ini kok tidak maju-maju pak? Anak-anak muda kalau belanja dan nonton film saja harus ke kota tetangga.

Djarot memang menolak pendirian mal. Sangat tegas menolak. Idealismenya kuat soal ini. Jawabnya : jangan sampai anak-anak Blitar terjangkiti virus hedonisme dan konsumerisme.

Terasa ketika saya aliyah, di malam minggu yang panjang, tak ada fikiran untuk sekedar nongkrong di cafe. Paling hanya warung kopi. Mungkin juga karena coffe culture belum populer seperti sekarang.

Baru setelah berpindah ke kota sebelah, terasa bedanya ; kerlap kerlip lampu kota, kerumunan orang di berbagai sudut, dan suasana malam yang hidup.

Saya baru menyadari jika Blitar memang sangat sepi. Kota pensiun kata orang-orang. Kota yang menghendaki ketenangan. Mula-mula memang menjenuhkan, tetapi seperti jadi ciri khas tersendiri.

Setiap Jum'at malam di akhir bulan, ketika kereta api penataran menghantarkan saya pulang, terasa syahdu melihat perempatan kawi yang lengang.

***
Akhir 2011 dan seterusnya, sepertinya ada banyak perbedaan. Gedung Dipayana yang legendaris, yang di waktu saya kecil sering dijadikan tempat pertunjukan ludruk, ketoprak, dan teater, dipagari tinggi. Konon akan dibangun mal.

Cafe-cafe mulai menjamur. Minimarket juga tumbuh bersaing pada jarak yang berdekatan. Sekolah-sekolah mulai diseragamkan, dari tas sampai kaos olahraga. Hal-hal simbolik kembali dimunculkan, seperti busana djadoel.

Sekolah baru, dibangun begitu megah. Guru-guru terbaik dimutasi kesana. Dua kali saya masuk, mengamati dari dekat, dan terasa begitu diprioritaskannya.

Blitar bukan lagi kota pensiun. Sekarang cukup ramai. Ada taman dibangun di depan alun-alun. Taman di depan taman. Saling berhadapan.

Kawasan mastrip yang legendaris itu juga digusur, dipugar, dirapikan. Jalanan dibelah dua dan dilebarkan. Banyak kios dan ruko di sekitarnya. Saya mencari-cari gerobak penjual buku loak, yang sepertinya sudah tak ada.

Kota Blitar telah menjelma dalam wujud baru, yang lebih gemerlap. Ada banyak tempat nongkrong, pusat belanja, taman-taman, dan fasilitas lainnya.

Ada "kemajuan" yang dulu diimpikan. Sebagaimana kota-kota lain yang sedang tumbuh. Di areal wisata makam Bung Karno, ada beberapa titik pedestrian. Paving-paving untuk pejalan kaki.

Lebih indah, kata orang. Seperti khas-nya trotoar sepanjang jalan Braga atau Malioboro yang selalu terkenang dan sayang jika dilewatkan, untuk sekedar berfoto.

Kota ini memang tumbuh, dan terus tumbuh, meski tanpa lagi ingatan. Semua kota akan sama pada akhirnya. Jadi obyek proyek-proyek ambisius.

Sayangnya, seringkali proyek ambisius itu, menelan korban. Kalau hanya walikota yang diciduk KPK, itu biasa. Lebih dari itu, ada pergulatan sosial-budaya. Ada proses penggerusan, dan kita hanya bisa kembali merenung bersama buku-buku sejarah yang jarang lagi disentuh. []

Blitar, 13 Juni 2018
Di Penghujung Ramadan
www.fahryzal.com

Friday 15 June 2018

Membaca Sebagai Gerakan

"Kalau tempat ini dibuat diskusi boleh ya Pak?"

Tanya saya suatu ketika, lebih setahun silam, pada Pak Budi Kastowo, "juru kunci" buku-buku koleksi khusus Bung Karno.

Tempat itu lebih sering sepi. Lokasinya ada di lantai II sebelah barat. Sesekali nampak ada interaksi, jika kebetulan ada tamu dari luar kota yang hendak menggali referensi tentang Bung Karno. Atau jika ada diskusi publik.

Kebetulan setiap minggu siang, saya dan beberapa teman dari Forum Lingkar Pena datang ke area perpustakaan, duduk melingkar di selasar untuk berbincang soal kepenulisan. Saya jadi ingat ruang atas, bagaimana kalau pindah ke atas saja?

Kehadiran kami disambut Pak Budi Kastowo, yang kadang ikut dalam diskusi, kadang pula ikut berpraktek menulis, jika dalam materi diskusi mentor mengharuskan kami untuk praktek menulis.

Berikutnya kami makin akrab dengan petugas yang lain, sampai-sampai kami tidak perlu lagi lewat jalan utama menuju lantai II tersebut. Kami nerobos lewat Museum, padahal disana tertulis : selain karyawan dilarang masuk.

Entah siapa yang memulai, kalau tidak salah Rosy Nursita. Sebelum dia jadi ketua Lingkar Pena, saya pernah lihat dia duduk di lantai dua dengan mengenakan jaket hitam dan membawa tas. Loh kok boleh?

Padahal kalau masuk perpustakaan, tas dan jaket harus dititipkan di bawah. Ternyata dia lewat museum, dan setelah itu ditirukan yang lain.

Atau bisa juga, karena ada Adinda Kinasih, yang sempat magang disitu, karena program PPL-nya sebagai mahasiswi jurusan Ilmu Perpustakaan. Banyak orang perpus sudah mengenalnya, yang kemudian juga mengenalnya sebagai anggota Lingkar Pena.

Jadi seperti previlage tersendiri, bisa menggunakan ruangan di lantai II, bercengkrama, berdiskusi, dan saling berbagi. Kadang juga saling tukar-pinjam buku, apalagi yang sudah punya kartu anggota perpustakaan, tinggal bergeser ke ruang sebelah untuk memilih buku-buku yang ingin dipinjam.

Saya yang malas baca pun akhirnya juga tergerak untuk bikin kartu anggota perpustakaan. Sekarang bikin kartu itu mudah sekali, cukup bawa KTP, isi formulir lembaran dan pada komputer yang disediakan, lalu berfoto, dan tinggal menunggu beberapa menit kartu pun jadi.

Inilah fasilitas publik yang harusnya diakses oleh masyarakat. Semua serba gratis.

***
Di tempat yang sama kemudian, saya berbincang dengan Pak Budi soal rendahnya budaya baca. Rasanya sudah cukup untuk terus-terusan mengeluh apalagi mengumpat.

Diskusi soal budaya baca tentu menjadi perhatian serius, terutama bagi pengelola perpustakaan seperti Pak Budi. Salah satu i'tikad Pustakawan, tentu adalah bagaimana masyarakat suka membaca, dan mengakses buku-buku yang sudah disediakan negara.

Tetapi ya berat untuk mengajak orang suka membaca buku, apalagi ditengah gempuran digital, ditengah generasi kini yang dimanjakan teknologi. Ditengah kepraktisan orang mencari informasi yang mereka butuhkan.

Karenanya, lebih baik kita bikin perkumpulan. Tidak harus yang suka baca, justru buat yang malas baca. Biar mendengarkan dulu. Tetapi memang harus ada yang "berkorban" untuk membaca buku, lalu menyampaikannya.

Jadi membaca bukan lagi untuk diri sendiri, tetapi untuk disampaikan ke orang lain. Membaca bukan lagi sebagai ruang privat, tetapi menjadi upaya untuk menggerakkan.

Grup whatsapp pun dibuat untuk memperluas silaturahim dan partisipasi masyarakat. Meski yang hadir dalam pertemuan rutin setiap Jum'at kemudian, antara belasan sampai puluhan.

Bagi saya itu tak masalah, berapapun yang hadir, minimal saya sendiri juga membutuhkan. Sedikit atau banyak, tak terlalu berpengaruh. Meski mungkin ada orang yang menertawakan.

Ketika FLP Blitar vacum selama kurang lebih tiga tahun, yang menghidupkannya kembali toh hanya 5 orang. Sampai nyaris setahun kemudian peserta yang hadir ya tetap antara 5 orang itu.

***
Saya rutin hadir dalam diskusi setiap hari Jum'at, dan berharap akan banyak yang datang, tetapi kalaupun tidak banyak, minimal saya sendiri juga butuh untuk datang ; butuh untuk mendengarkan, butuh untuk tahu hal-hal baru, butuh untuk terus belajar.

Tepat 8 Juni 2018, ada Undangan ke rumah Pak Budi Kastowo yang terletak di utara Kota. Rumah dengan suasana sekitar yang asri. Undangan itu untuk diskusi dan berbuka bersama.

Kira-kira satu minggu ini, di teras depan yang luas, sudah dibuka sebuah cafe. Sudah ada LCD dan sekaligus pengeras suara, beserta free wifi. Tepat disamping perguruan "ilmu sejati".

Saya membuka diskusi, dilanjutkan Pak Budi yang menceritakan bagaimana Bung Karno menggali Pancasila, sampai waktu berbuka tiba. Sebagian kami melaksanakan shalat magrib berjamaah.

Selepas itu, beberapa hidangan sudah tersaji. Ada beberapa jenang merah, sebab malam ini ada satu lagi agenda penting, yaitu peresmian nama untuk kegiatan rutin kami setiap hari Jum'at itu.

Mbah Kakung, Bambang In Mardiono, atau yang biasa disapa Mbah Gudel memimpin hajatan tersebut, dengan bahasa Indonesia bercampur Jawa, beserta filosofinya.

Lalu apa nama yang cocok? Jujur saya pribadi, Kang Khabib, Karas, dan lainnya, tak sempat menemukan nama yang pas. Nama "komunitas malas baca" dirasa cukup, penuh kritik sekaligus dalam rangka menertawakan diri sendiri yang kadang malas untuk membaca.

Atau karena kami dari Muhammadiyah, yang kurang mesakralkan soal nama. Orang Muhammadiyah sendiri ketika menamai Amal Usahanya, kadang hanya mencari nama lain yang sekiranya cocok dengan logo : seperti surya dan mentari.

Tetapi Pak Budi Kastowo dan Mbah Gudel mungkin punya nilai-nilai tersendiri soal nama, dan berharap agenda mingguan ini tetap langgeng sampai waktu yang lama, dan berdampak. Ya, begitulah doa kami semua.

Ternyata pada malam itu, nama "dititipkan" oleh seseorang yang baru hadir hari itu, mahasiswa STIT Al Muslihun bernama Hamid Firdaus. Ia mengusulkan sebuah nama yang kemudian disepakati.

Komunitas Malas Baca pun berubah menjadi Komunitas Muara Baca. Kata "Muara" bermakna dua hal : sebagai tempat pertemuan dan tujuan, juga karena peresmian malam itu berlokasi di jalan muara takus.

Sepertinya hadirin sepakat, dan tanpa waktu lama kemudian diresmikan, lalu ditutup dengan doa oleh Gus Imam, tokoh masyarakat Sentul yang turut hadir malam itu.

Selanjutnya, cukuplah kita menyebut komunitas itu dengan "Muara" saja, atau komunitas muara. Dan semoga mereka yang suka membaca, atau yang masih malas membaca sekalipun, bisa bermuara disini, di komunitas ini.

Jadi ada sharing wawasan, ada atmosfir positif untuk kembali membuka-buka isi buku, yang rasanya sudah seperti barang antik akhir-akhir ini.

Ada sebuah gerakan membaca. Semoga.

Blitar, 10 Juni 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Friday 8 June 2018

Buka Puasa Bersama dan Pembentukan Komunitas

Buka puasa bersama Presidium Paguyuban Srengenge, bersama Pustakawan Perpus Bung Karno dan Masyarakat Sentul di rumah Bapak Budi Kastowo.


Acara ini digelar hari Jum'at, 8 Juni 2018, sekaligus penentuan nama komunitas Muara Baca, sebuah komunitas yang rutin melaksanakan diskusi seputar buku, tokoh, dan sejarah bangsa Indonesia.


Diskusinya pun akan digelar rutin setiap hari Jum'at. Komunitas ini merupakan penguat gerakan literasi oleh Paguyuban Srengenge, yang secara spesifik berbagai wawasan seputar buku-buku.

Monday 28 May 2018

Tadarus Pemikiran Ramadan 2018

Paguyuban Srengenge menghadiri Tadarus Pemikiran JIMM, 23-24 Mei 2018 di Universitas Muhammadiyah Malang


Foto bersama peserta dan pemakalah

Foto bersama, dari kiri : Nafi' Muthohirin, Khabib M. Ajiwidodo, Luthfi Al Fajari, Pradana Boy ZTF, Alpha Amirrachman, Ahmad Fahrizal Aziz



Suasana Tadarus Pemikiran

Wednesday 23 May 2018

Dokumentasi Bincang Buku

Bincang buku edisi "Sarinah" dan "Mencapai Indonesia Merdeka" dengan penyaji Rosy Nursita Anggraini dari Lingkar Pena Blitar dan Budi Kastowo, Pustakawan Perpustakaan Bung Karno.
Berikut foto-fotonya :

Rosy Nursita dan Moderator, Dzun Nuraini Aziz
Rosy Nursita
Budi Kastowo
Budi Kastowo
Rosy Nursita